Hari ini, saya telah melakukan sebuah perjalanan yang
tak pernah saya sangka. Baru saja, saya menemui seseorang ibu pemilik
sebuah warung di daerah cilincing, Jakarta Utara, saya tak sempat
menanyakan siapa namanya, tapi ada hal yang membekas disini, di hati.
Nanti kawan saya ceritakan.
Sebelumnya, saya sedang dalam pencarian pelaku-pelaku penyalahgunaan narkoba, mulai pukul lima sore saya telah duduk di depan warung nasi, tapi bukan warung yang saya sebutkan diatas. Menit demi menit terus berlalu, pelaku yang ditunggu tidak kunjung datang, hingga sampai adzan magrib pun berkumandang, saya putuskan untuk terlebih dahulu melaksanakan solat magrib di sebuah musola kecil dekat warung tersebut.
Setelah pamitan kepada senior saya untuk pergi ke musola, saya pun pergi dan melaksanakan solat disana. Saya melihat sedikit sekali jama’ah yang solat di musola itu, padahal, kanan kirinya banyak sekali penduduknya, namun yang bisa solat berjama’ah di musola kecil itu hanya saya, empat orang bapak-bapak serta satu orang ibu. Tak ada perasaan aneh waktu itu, biasa saja.
Setelah selesai solat dan berdo’a sedikit (hehehe, maklum agak terburu-buru juga, soalnya senior saya udah nunggu, takut pelakunya kabur), saya pun langsung ke warung nasi tadi. Tiba-tiba saya kebelet pipis, langsung saja saya menuju WC Umum deket situ, belum selesai keluar semua air pipisnya, tiba-tiba senior saya teriak memanggil nama saya, buru-buru lah saya selesaikan pipis saya, dan langsung menuju asal suara.
“Ris, ini nih pelakunya udah jalan, bawa bb (barang bukti ganja), cepet cari motornya matic warna merah, nomornya B XXXX URU, coba lu cari tuh.” sambil celingukan mencari motor yang disebutkan senior saya juga memerintahkan saya untuk mencarinya.
Lalu, dia (senior saya) melihat ada motor yang seperti ciri-ciri tadi, namun posisinya sedang menyebrang ke kali sebrang tempat kami berada. Kami pun juga ikut menyebrang dengan menggunakan perahu yang sama, jadi kami harus menunggu perahu itu balik lagi ke sebrang tempat kami menunggu.
Akhirnya kami pun sampai kesebrang kali, lalu saya langsung menarik gas motor sekencang-kencangnya mencari motor tersebut, ya, kami dapat motornya dan pelaku yang diduga membawa narkotika, kami tak langsung melakukan penggeledahan, yang kami lakukan adalah observasi lingkung terlebih dahulu, melihat disekeliling pelaku tersebut adalah warga yang kami duga adalah juga sekomplotan dengan pelaku ini, maka kami urungkan niat kami untuk melakukan penggeledahan. Bayangkan, kami hanya berdua saja, tapi kami tetap menunggu kalau-kalau si pelaku itu kembali menyalahkan motornya dan pergi dari kerumuanan itu.
Yap, seperti dugaan saya, pelaku itu pun kembali pergi membawa motornya, kami segera melakukan pengejaran, tapi, sekali lagi, kami tidak berhasil menangkap si pelaku, dia mengebut sekencang-kencangnya, sedangkan kami yang berada dibelakangnya tidak bisa karena terhalang oleh banyaknya kendaraan yang sedang berhenti tepat ketika kami ingin megebut sekencang-kencangnya juga.
Huft, walaupun begitu, kami tidak patah arang kawan, kami pun kembali ke tempat kami standby, namun bukan warung nasi yang sebelumnya, tapi di warung yang lain, sambil menunggu dari informan kami yang tetap standby juga kalau-kalau ada pelakunya lagi. Di warung inilah cerita itu dimulai.
Kami pun kembali duduk, menanti apabila sang pelaku yang tadi atau sang pelaku lain lagi datang. Kami menikmati kacang kulit yang dibungkusnya ada burung Pancasilanya, minum air mineral yang kalau baca nama merek kayak orang lagi nanya harganya berapa dalam bahasa jawa.
Aku pun sedikit sok kenal sama si Ibu, nanya-nanya bagaimana keluarganya lah, tempat tinggalnya lah, dan lain-lain.
“Bu, disini bayar gak bu tanahnya?”
“Ya, kagaklah mas, ini kan milik negara, wong di bawah jembatan kok!”
“Lah, anak Ibu pada kemana masa orang tuanya ditinggal disini bu?”
“Anak saya ada lima, semua sudah pada nikah, ya, jadi tinggal berdua lagi deh.”
“Hmm, anaknya masih sering kesini bu?”
“Kalau yang laki-laki dua orang, pasti kesini setiap hari. Kalau yang perempuan tiga orang, jarang banget kesini.”
“Disini lumayan banyak yang beli ya Bu, beda sama warung yang depan itu Bu.”
“Mas, rezeki itu udah ada yang ngatur, saya mah gak ngoyo-ngoyo banget nyari uang, wong saya sudah tua, mau apalagi sih yang di cari? Tinggal matinya doank.”
“Umur ibu berapa?”
“47 tahun, mas.”
“Wah, sama dong sama Ibu saya, umurnya segitu juga. Ibu punya tanah yang resmi gak bu?”
“Alhamdulillah mas, walaupun begini-begini, saya sudah punya rumah gubuk di Bulak Turi, disini aja saya punya kontrakan dua, walaupun baru satu yang bisa di kontrakin. Yang kontrakan satunya lagi masih nunggu duit untuk perbaikan lagi.”
“Bikin kontrakan di tanah gelap begini bu, kan gak ada suratnya?”
“Iya mas, makanya saya mah rela aja, ikhlas kalau sewaktu-waktu di bongkar, memang bukan punya saya kok.”
“Kontrakannya apa yang diperbaiki Bu, emangnya rusak kenapa?”
“Yah mas, disini pun banyak orang yang dengki, kadang kontrakan saya di jaiilin mas, di bocorin lah gentengnya, tapi saya mah gak mau mas dendam-dendam, saya yakin, suatu saat mereka yang suka ngejailin saya pasti dibales sama Allah, mas.”
“Bener tuh Bu.”
“Iya mas, jangan pernah jadi orang yang pendendam mas, hidupnya pasti bakalan sempit. Banyak kok yang telah Ibu saksikan, orang-orang yang suka menjahili orang lain, di akhir hidupnya bakalan aneh-aneh cara matinya.”
“Iya, Bu.” Saya pun termenung mendengar perkataan si Ibu, kadang kita yang sudah memiliki banyak hal-hal yang lebih memiliki materi, kadang malah takut kalau-kalau harta kita itu rusak atau bahkan hilang, memang benar, adalah hak kita untuk mempertahankan hak yang kita punya, namun terkadang tatkala sesuatu benda yang ada di diri kita itu di rusak oleh tetangga kita, kita menjadi lebih liar, kadang penyelesaian permasalahan rusaknya barang kita oleh tetangga kita atau orang lain menjadi panjang. Tahukah kawan, mengapa kita sangat marah tatkala kita melihat sesuatu yang ada pada diri kita ini sedikit di rusak oleh orang lain, bagi saya ini karena kita terlalu merasa memiliki apa yang telah Allah titipkan pada kita. Apapun itu, pasti yang terdapat pada diri kita, semuanya adalah titipan, suatu saat pasti akan diambil lagi oleh pemiliknya, terserah Allah, kapan pun mau Dia ambil titipannya, kita harus ikhlas, karena memang itu bukan miliki kita.
Malam tadi, banyak sekali hal yang saya dapatkan oleh sang Ibu yang sudah terlihat sendu tatapan matanya. Tak terasa, jam pun hampir menunjukkan pukul sembilan malam, “tangkapan” yang kami buru tidak muncul-muncul. Memang belum agak malam sih, tapi mengingat saya besok ada tugas pagi-pagi, maka harus saya pending perburuan ini. Akhirnya, kami pun pamit pulang kepada Ibu pemilik warung.
Ada satu yang berkesan pada malam ini, diantara gelapnya dan kumuhnya rumah-rumah di kolong jembatan, masih ada sang Ibu yang siap memberikan cahayanya untuk menerangi kegelapan manusia kolong jembatan.
Sebelumnya, saya sedang dalam pencarian pelaku-pelaku penyalahgunaan narkoba, mulai pukul lima sore saya telah duduk di depan warung nasi, tapi bukan warung yang saya sebutkan diatas. Menit demi menit terus berlalu, pelaku yang ditunggu tidak kunjung datang, hingga sampai adzan magrib pun berkumandang, saya putuskan untuk terlebih dahulu melaksanakan solat magrib di sebuah musola kecil dekat warung tersebut.
Setelah pamitan kepada senior saya untuk pergi ke musola, saya pun pergi dan melaksanakan solat disana. Saya melihat sedikit sekali jama’ah yang solat di musola itu, padahal, kanan kirinya banyak sekali penduduknya, namun yang bisa solat berjama’ah di musola kecil itu hanya saya, empat orang bapak-bapak serta satu orang ibu. Tak ada perasaan aneh waktu itu, biasa saja.
Setelah selesai solat dan berdo’a sedikit (hehehe, maklum agak terburu-buru juga, soalnya senior saya udah nunggu, takut pelakunya kabur), saya pun langsung ke warung nasi tadi. Tiba-tiba saya kebelet pipis, langsung saja saya menuju WC Umum deket situ, belum selesai keluar semua air pipisnya, tiba-tiba senior saya teriak memanggil nama saya, buru-buru lah saya selesaikan pipis saya, dan langsung menuju asal suara.
“Ris, ini nih pelakunya udah jalan, bawa bb (barang bukti ganja), cepet cari motornya matic warna merah, nomornya B XXXX URU, coba lu cari tuh.” sambil celingukan mencari motor yang disebutkan senior saya juga memerintahkan saya untuk mencarinya.
Lalu, dia (senior saya) melihat ada motor yang seperti ciri-ciri tadi, namun posisinya sedang menyebrang ke kali sebrang tempat kami berada. Kami pun juga ikut menyebrang dengan menggunakan perahu yang sama, jadi kami harus menunggu perahu itu balik lagi ke sebrang tempat kami menunggu.
Akhirnya kami pun sampai kesebrang kali, lalu saya langsung menarik gas motor sekencang-kencangnya mencari motor tersebut, ya, kami dapat motornya dan pelaku yang diduga membawa narkotika, kami tak langsung melakukan penggeledahan, yang kami lakukan adalah observasi lingkung terlebih dahulu, melihat disekeliling pelaku tersebut adalah warga yang kami duga adalah juga sekomplotan dengan pelaku ini, maka kami urungkan niat kami untuk melakukan penggeledahan. Bayangkan, kami hanya berdua saja, tapi kami tetap menunggu kalau-kalau si pelaku itu kembali menyalahkan motornya dan pergi dari kerumuanan itu.
Yap, seperti dugaan saya, pelaku itu pun kembali pergi membawa motornya, kami segera melakukan pengejaran, tapi, sekali lagi, kami tidak berhasil menangkap si pelaku, dia mengebut sekencang-kencangnya, sedangkan kami yang berada dibelakangnya tidak bisa karena terhalang oleh banyaknya kendaraan yang sedang berhenti tepat ketika kami ingin megebut sekencang-kencangnya juga.
Huft, walaupun begitu, kami tidak patah arang kawan, kami pun kembali ke tempat kami standby, namun bukan warung nasi yang sebelumnya, tapi di warung yang lain, sambil menunggu dari informan kami yang tetap standby juga kalau-kalau ada pelakunya lagi. Di warung inilah cerita itu dimulai.
Kami pun kembali duduk, menanti apabila sang pelaku yang tadi atau sang pelaku lain lagi datang. Kami menikmati kacang kulit yang dibungkusnya ada burung Pancasilanya, minum air mineral yang kalau baca nama merek kayak orang lagi nanya harganya berapa dalam bahasa jawa.
Aku pun sedikit sok kenal sama si Ibu, nanya-nanya bagaimana keluarganya lah, tempat tinggalnya lah, dan lain-lain.
“Bu, disini bayar gak bu tanahnya?”
“Ya, kagaklah mas, ini kan milik negara, wong di bawah jembatan kok!”
“Lah, anak Ibu pada kemana masa orang tuanya ditinggal disini bu?”
“Anak saya ada lima, semua sudah pada nikah, ya, jadi tinggal berdua lagi deh.”
“Hmm, anaknya masih sering kesini bu?”
“Kalau yang laki-laki dua orang, pasti kesini setiap hari. Kalau yang perempuan tiga orang, jarang banget kesini.”
“Disini lumayan banyak yang beli ya Bu, beda sama warung yang depan itu Bu.”
“Mas, rezeki itu udah ada yang ngatur, saya mah gak ngoyo-ngoyo banget nyari uang, wong saya sudah tua, mau apalagi sih yang di cari? Tinggal matinya doank.”
“Umur ibu berapa?”
“47 tahun, mas.”
“Wah, sama dong sama Ibu saya, umurnya segitu juga. Ibu punya tanah yang resmi gak bu?”
“Alhamdulillah mas, walaupun begini-begini, saya sudah punya rumah gubuk di Bulak Turi, disini aja saya punya kontrakan dua, walaupun baru satu yang bisa di kontrakin. Yang kontrakan satunya lagi masih nunggu duit untuk perbaikan lagi.”
“Bikin kontrakan di tanah gelap begini bu, kan gak ada suratnya?”
“Iya mas, makanya saya mah rela aja, ikhlas kalau sewaktu-waktu di bongkar, memang bukan punya saya kok.”
“Kontrakannya apa yang diperbaiki Bu, emangnya rusak kenapa?”
“Yah mas, disini pun banyak orang yang dengki, kadang kontrakan saya di jaiilin mas, di bocorin lah gentengnya, tapi saya mah gak mau mas dendam-dendam, saya yakin, suatu saat mereka yang suka ngejailin saya pasti dibales sama Allah, mas.”
“Bener tuh Bu.”
“Iya mas, jangan pernah jadi orang yang pendendam mas, hidupnya pasti bakalan sempit. Banyak kok yang telah Ibu saksikan, orang-orang yang suka menjahili orang lain, di akhir hidupnya bakalan aneh-aneh cara matinya.”
“Iya, Bu.” Saya pun termenung mendengar perkataan si Ibu, kadang kita yang sudah memiliki banyak hal-hal yang lebih memiliki materi, kadang malah takut kalau-kalau harta kita itu rusak atau bahkan hilang, memang benar, adalah hak kita untuk mempertahankan hak yang kita punya, namun terkadang tatkala sesuatu benda yang ada di diri kita itu di rusak oleh tetangga kita, kita menjadi lebih liar, kadang penyelesaian permasalahan rusaknya barang kita oleh tetangga kita atau orang lain menjadi panjang. Tahukah kawan, mengapa kita sangat marah tatkala kita melihat sesuatu yang ada pada diri kita ini sedikit di rusak oleh orang lain, bagi saya ini karena kita terlalu merasa memiliki apa yang telah Allah titipkan pada kita. Apapun itu, pasti yang terdapat pada diri kita, semuanya adalah titipan, suatu saat pasti akan diambil lagi oleh pemiliknya, terserah Allah, kapan pun mau Dia ambil titipannya, kita harus ikhlas, karena memang itu bukan miliki kita.
Malam tadi, banyak sekali hal yang saya dapatkan oleh sang Ibu yang sudah terlihat sendu tatapan matanya. Tak terasa, jam pun hampir menunjukkan pukul sembilan malam, “tangkapan” yang kami buru tidak muncul-muncul. Memang belum agak malam sih, tapi mengingat saya besok ada tugas pagi-pagi, maka harus saya pending perburuan ini. Akhirnya, kami pun pamit pulang kepada Ibu pemilik warung.
Ada satu yang berkesan pada malam ini, diantara gelapnya dan kumuhnya rumah-rumah di kolong jembatan, masih ada sang Ibu yang siap memberikan cahayanya untuk menerangi kegelapan manusia kolong jembatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar